Pada awal 2025, sebuah konsep warung kejujuran modern yang diinisiasi oleh mahasiswa ITB, Andi Pratama, menjadi viral di media sosial. Melalui sistem “Warung Tanpa Penjaga 2.0”, ia mengintegrasikan teknologi digital dengan nilai-nilai kejujuran tradisional.
Dalam penerapannya, warung ini menggunakan sistem QR code untuk setiap produk. Selanjutnya, pembeli melakukan scan dan pembayaran mandiri melalui berbagai platform digital. Sementara itu, CCTV dengan AI hanya berfungsi untuk mengumpulkan data perilaku konsumen, bukan untuk pengawasan.
Lebih menarik lagi, sistem ini menerapkan konsep “Pay-It-Forward” digital. Para pembeli dapat meninggalkan saldo untuk pengunjung berikutnya yang membutuhkan. Akibatnya, gerakan berbagi ini menciptakan rantai kebaikan di kalangan anak muda.
Berkat popularitasnya di TikTok dan Instagram, konsep ini kemudian diadopsi oleh mahasiswa di 20 kampus berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, komunitas “Warung Kejujuran Digital” terbentuk dan telah menginspirasi ribuan pengikut di media sosial.
Di samping itu, data menunjukkan tingkat kejujuran yang mengejutkan. Dari 10.000 transaksi pertama, tercatat 99.7% pembayaran sesuai dengan harga produk. Oleh karena itu, fenomena ini membantah stereotip negatif tentang generasi muda.
Lebih lanjut, warung ini menjual produk UMKM lokal dan makanan sehat. “Kami ingin menggabungkan nilai sosial dengan gaya hidup sehat,” jelas Andi. Dengan demikian, konsep ini juga mendukung pemberdayaan ekonomi lokal.
Untuk pengembangannya, tim Warung Kejujuran Digital sedang merancang aplikasi khusus. Melalui aplikasi tersebut, pengguna dapat melihat impact sosial dari partisipasi mereka. Selain itu, sistem reward point akan diintegrasikan untuk mendorong perilaku positif.
Pada akhirnya, gerakan ini mendapat perhatian dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Mereka berencana mengadopsi model serupa untuk program pemberdayaan usaha mikro. Dengan demikian, sebuah tren sosial media telah bertransformasi menjadi gerakan sosial yang bermakna.