Junta militer Myanmar memperkenalkan taktik represif baru dengan tato RFID untuk melacak aktivis pro-demokrasi. Pada Maret 2024, pasukan keamanan mulai menyisir pasar dan kampus di Yangon, memaksa warga berusia 15-40 tahun menerima tato “kesehatan gratis” berisi chip RFID. “Tinta ini hanya alat pencegah COVID,” klaim Jenderal Min Aung Hlaing, meski dokumen bocor tunjukkan sistem RFID-TraceX mampu lacak pergerakan dengan radius 500 meter.

Teknologi Pelacakan dalam Tinta

Perusahaan Tiongkok SinoInkTech suplai tinta mengandung partikel RFID sebesar 0,3 mm yang aktif via frekuensi 5G. Sensor di pos pemeriksaan otomatis membunyikan alarm jika terdeteksi pemilik tato mendekati lokasi terlarang. Sejak April, junta menangkap 320 orang berdasarkan data geolokasi tato, termasuk 15 anggota kelompok oposisi YouthWave.

Perlawanan dengan Teknologi Sederhana

Kelompok bawah tanah InkDefiance kembangkan krim RFID-Wash dari arang dan cuka untuk nonaktifkan chip. “Kami ajarkan warga menghapus tato dengan laser portabel,” kata aktivis Mae Khaing (nama samaran). Startup lokal TechRevolution juga rakit jammer genggam seharga $20 yang ganggu sinyal RFID dalam radius 10 meter.

Dampak Kesehatan & Diplomasi Global

Dokter lapangan laporkan 127 kasus radang kulit akut akibat reaksi nanopartikel RFID. PBB keluarkan resolusi darurat pada Mei 2024, memaksa Tiongkok hentikan ekspor tinta RFID ke Myanmar. Namun, junta bantah tuduhan dan klaim teknologi ini turunkan angka kriminalitas 40%.

Tantangan dan Masa Depan

Sistem ini hadapi kendala: 25% pembacaan RFID hasilkan false positive karena interferensi gedung tinggi. Junta kini uji coba tato wajah dengan chip lebih kecil di Naypyidaw. Aktivis peringatkan: “Jika tak dihentikan, Myanmar akan jadi negara pertama dengan warga terjebak di panoptikon digital.”